Aku adalah seorang guru yang
termasuk guru yang trend-nya disebut guru
yang ‘gak tegaan, khususnya pada
siswa-siswaku sendiri. Saat mengajar di kelas umumnya aku terlihat biasa saja dan bukan termasuk
guru yang killer. Apalagi di saat
siswa yang terkadang membuatku jengkel di kelas, aku selalu berusaha menegur
dengar caraku sendiri, yaitu menegur seperlunya dengan tidak menunjukkan
tekanan suara tinggi yang menggertak dengan tujuan agar mereka tidak
tersinggung, namun satu hal yang menjadi kelemahanku saat-saat itu adalah cara
tuguranku tidak dapat membuat siswaku jera dan sadar. Aku tahu alasan mengapa siswa
sering berperilaku seperti itu, tetapi alasan itu tidak perlu aku jelaskan
panjang lebar di sini. Ya, aku menyadari bahwa aku saat itu sedang mengajar di sebuah
lembaga pendidikan Non-formal yang menuntut guru untuk selalu berhati-hati dalam
menegur siswa, jangan sampai mereka dipukul ataupun hal yang membuat mereka
berhenti dari lembaga tersebut. Maklum, lembaga pendidikan Non-formal di
tempatku mengajar mampu bertahan hidup karena adanya kepercayaan siswa, jika
lembaga itu dianggap buruk di mata siswa dan atau orang tuanya, mungkin saja
lembaga itu akan mengalami penurunan jumlah siswa dan akan mengalami
kebangkrutan. waktu itu Memang berat
tantangan profesi ini yang aku rasakan sebagai guru di lembaga pendidikan
Non-formal, tetapi sebagai guru yang berusaha untuk selalu profesional dengan
segala kekurangan yang aku miliki, maka hal itu yang membuatku tetap semangat
dalam mengajar, tulus ikhlas aku berikan demi siswa, lembaga, dan pekerjaanku. Mungkin pernyataan ini terdengar agak
membanggakan diri ataupun mungkin terdengar kurang etis dibicarakan, tetapi
itulah secuil kenyataan dari sifatku yang sebenarnya sebagai seorang guru.
Di lembaga pendidikan Non-formal
tempat aku mengajar waktu itu hampir seluruh siswa-siswinya berasal dari golongan
orang kaya. Ada siswa yang berperilaku baik terhadap guru dan ada juga “mungkin”
siswa yang berperilaku yang tidak baik terhadap gurunya. Mungkin mereka menganggap
gurunya lebih rendah materilnya sehingga mereka seenaknya saja berperilaku yang
tidak beretika. Mereka menganggap segalanya bisa dibeli dengan uang dari orang
tuanya. Mungkin juga faktor pergaulan di dunia mereka lebih bebas, kurang
perhatian dari orang tua, dan atau kurang bergaul dengan orang di sekitarnya
yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dari segi materi dan status sosialnya.
Semua etika mereka itu pasti memiliki banyak faktor yang mempengaruhi. Akan
tetapi, bukan berarti mereka luput dari perhatian seorang guru. Guru akan selalu
memberikan contoh yang baik untuk anak didiknya.
Kali ini aku ingin menceritakan
pengalaman singkat yang memiliki sedikit pelajaran yang berpengaruh dalam hidupku
dan untuk kesadaran diri untuk menjadi guru yang lebih baik lagi di masa
mendatang.
Pada hari Selasa di suatu lembaga yang tidak perlu aku sebutkan, aku mendapatkan
jadwal mengajar di kelas 7 SMP. Tepatnya di ruang A. Pengalaman yang biasa aku
hadapi saat itu ialah menunggu kehadiran siswa di kelas yang mana mereka semua datang
terlambat. Sebenarnya tidaklah etis bagi seorang guru menunggu kedatangan siswanya
di kelas, yang ada hanyalah siswa yang menunggu kehadiran guru di kelasnya atau
datang dalam waktu yang bersamaan untuk belajar, bukan sebaliknya. Saat itu sebagian
besar siswaku datang walaupun terlambat, sisanya menyusul dua siswa laki-laki datang
di pertengahan jam belajar. Dua siswa yang terakhir itu sebut saja namanya
Bendri dan Andro. Ketika terlambat memasuki ruangan, Andro langsung masuk ke
uang kelas bersama Bendri tanpa mengucapkan salam, tidak menoleh ke hadapanku,
dan yang parahnya lagi selang waktu masuk ruang kelas, sebelum duduk si Andro
meminta bantuanku untuk mencolokan kabel laptop-nya,
aku merasa sangat terkejut. Jauh dari prasangka burukku, selayaknya siswa yang memimta bantuan,
aku bantu saja Andro mencolokkan kabel ke lobang aliran listrik yang ada di
kelas. Mungkin karena aku adalah guru yang pertama kali mengajar di kelasnya. Aku
belum begitu mengenal karakter siswa di kelas waktu itu. Dan tidak lama selang
aku mencolokkan kabel laptop, si Andro langsung duduk dan membuka laptop tanpa
izin. Spontan saja aku menegur dan memarahi Andro, “Andro, silakan duduk,
tolong laptopnya disimpan dulu!”, perintahku. Namun Andro tidak mendengarkan
teguranku dan Andro mulai menyalakan laptop-nya
dan terus memainkan games di laptop-nya.
Betapa bingung aku saat itu, memikirkan akibat yang akan terjadi jika seandainya
aku meluapkan amarahku ke Andro. Tapi, dengan kesadaran yang masih tersimpan.
Aku menghentikan teguranku, namun Andro masih saja memainkan games di laptop-nya hingga jam pelajaran berakhir. Dengan mimik wajahku yang
bosan, sebelum keluar ruang kelas, aku berpesan kepada Andro dan teman-temannya yang lain bahwa
mulai minggu berikutnya jika Andro tidak mau merubah perilakunya yang tidak baik, aku yang akan keluar dari ruangan kelas.
Sedikit banyaknya aku sudah paham dengan karakter para siswa
umumnya yang pernah aku temui karena sebelum mengajar di kelas Andro aku sudah
lumayan banyak memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai macam karakter
para siswaku baik berhadapan dengan siswa yang pendiam seribu bahasa sampai
siswa yang hampir pernah mengarahkan jari telunjuknya di keningku saat dia
marah yang tidak jelas dengan nada mengancam sehingga membuat darahku memanas
melihat tingkahnya yang sangat tidak patut dicontoh. Betapa kurang ajar siswa itu,
hingga aku menegurnya dengan baik, mengucapkan istighfar dan mengusap emosi burukku. Namun, dalam kelasku kali ini
sangatlah berbeda dengan apa yang saya duga sebelumnya. Menghadapi siswa yang
tidak menganggap kehadiran guru barunya.
Sempat aku berpikir, betapa
senangnya hidup seorang siswaku Andro, anak dari keluarga yang kaya yang bisa memiliki
segalanya yang dia inginkan, dimana jika dibandingkan dengan anak-anak di luar
sana yang mungkin keadaan mereka sangatlah jauh dengan keadaan Andro. Andro
bisa sekolah, membayar les yang mahal di luar sekolah, dan bisa mendapatkan apa
saja yang dia inginkan. Sungguh luar biasa kesempurnaan materi yang dia dapat.
Dan timbul pertanyaan di benakku bagaimana ketika dia besar nanti jika sikapnya
terhadap orang lain masih seperti itu dan bagaimana dia bisa mempertahankan
harta orang tuanya dengan baik kelak tanpa menghormati orang lain di
sekitarnya.
KECERDASAN BELUM TENTU BISA
MENYELAMATKAN HARTAMU, NAMUN AKHLAK AKAN SELALU MENJAGA HARTAMU.
Inilah sepenggal cerita yang terjadi di
sela-sela pekerjaanku sebagai guru yang umumnya mungkin juga terjadi di
kehidupan para pembaca sekalian. Hal ini mendorongku untuk mencari ide baru
dalam memecahkan masalah untuk mengarahkan siswa yang serupa dalam kondisi cerita
di atas ke arah yang lebih tepat.