Selasa, 14 Oktober 2014

GURU BERSABARLAH DULU


     Aku adalah seorang guru yang termasuk guru yang trend-nya disebut guru yang ‘gak tegaan, khususnya pada siswa-siswaku sendiri. Saat mengajar di kelas umumnya  aku terlihat biasa saja dan bukan termasuk guru yang killer. Apalagi di saat siswa yang terkadang membuatku jengkel di kelas, aku selalu berusaha menegur dengar caraku sendiri, yaitu menegur seperlunya dengan tidak menunjukkan tekanan suara tinggi yang menggertak dengan tujuan agar mereka tidak tersinggung, namun satu hal yang menjadi kelemahanku saat-saat itu adalah cara tuguranku tidak dapat membuat siswaku jera dan sadar. Aku tahu alasan mengapa siswa sering berperilaku seperti itu, tetapi alasan itu tidak perlu aku jelaskan panjang lebar di sini. Ya, aku menyadari bahwa aku saat itu sedang mengajar di sebuah lembaga pendidikan Non-formal yang menuntut guru untuk selalu berhati-hati dalam menegur siswa, jangan sampai mereka dipukul ataupun hal yang membuat mereka berhenti dari lembaga tersebut. Maklum, lembaga pendidikan Non-formal di tempatku mengajar mampu bertahan hidup karena adanya kepercayaan siswa, jika lembaga itu dianggap buruk di mata siswa dan atau orang tuanya, mungkin saja lembaga itu akan mengalami penurunan jumlah siswa dan akan mengalami kebangkrutan. waktu itu  Memang berat tantangan profesi ini yang aku rasakan sebagai guru di lembaga pendidikan Non-formal, tetapi sebagai guru yang berusaha untuk selalu profesional dengan segala kekurangan yang aku miliki, maka hal itu yang membuatku tetap semangat dalam mengajar, tulus ikhlas aku berikan demi siswa, lembaga, dan pekerjaanku.  Mungkin pernyataan ini terdengar agak membanggakan diri ataupun mungkin terdengar kurang etis dibicarakan, tetapi itulah secuil kenyataan dari sifatku yang sebenarnya sebagai seorang guru.
      Di lembaga pendidikan Non-formal tempat aku mengajar waktu itu hampir seluruh siswa-siswinya berasal dari golongan orang kaya. Ada siswa yang berperilaku baik terhadap guru dan ada juga “mungkin” siswa yang berperilaku yang tidak baik terhadap gurunya. Mungkin mereka menganggap gurunya lebih rendah materilnya sehingga mereka seenaknya saja berperilaku yang tidak beretika. Mereka menganggap segalanya bisa dibeli dengan uang dari orang tuanya. Mungkin juga faktor pergaulan di dunia mereka lebih bebas, kurang perhatian dari orang tua, dan atau kurang bergaul dengan orang di sekitarnya yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dari segi materi dan status sosialnya. Semua etika mereka itu pasti memiliki banyak faktor yang mempengaruhi. Akan tetapi, bukan berarti mereka luput dari perhatian seorang guru. Guru akan selalu memberikan contoh yang baik untuk anak didiknya.
       Kali ini aku ingin menceritakan pengalaman singkat yang memiliki sedikit pelajaran yang berpengaruh dalam hidupku dan untuk kesadaran diri untuk menjadi guru yang lebih baik lagi di masa mendatang.
        Pada hari Selasa di suatu lembaga yang tidak perlu aku sebutkan, aku mendapatkan jadwal mengajar di kelas 7 SMP. Tepatnya di ruang A. Pengalaman yang biasa aku hadapi saat itu ialah menunggu kehadiran siswa di kelas yang mana mereka semua datang terlambat. Sebenarnya tidaklah etis bagi seorang guru menunggu kedatangan siswanya di kelas, yang ada hanyalah siswa yang menunggu kehadiran guru di kelasnya atau datang dalam waktu yang bersamaan untuk belajar, bukan sebaliknya. Saat itu sebagian besar siswaku datang walaupun terlambat, sisanya menyusul dua siswa laki-laki datang di pertengahan jam belajar. Dua siswa yang terakhir itu sebut saja namanya Bendri dan Andro. Ketika terlambat memasuki ruangan, Andro langsung masuk ke uang kelas bersama Bendri tanpa mengucapkan salam, tidak menoleh ke hadapanku, dan yang parahnya lagi selang waktu masuk ruang kelas, sebelum duduk si Andro meminta bantuanku untuk mencolokan kabel laptop-nya, aku merasa sangat terkejut. Jauh dari prasangka  burukku, selayaknya siswa yang memimta bantuan, aku bantu saja Andro mencolokkan kabel ke lobang aliran listrik yang ada di kelas. Mungkin karena aku adalah guru yang pertama kali mengajar di kelasnya. Aku belum begitu mengenal karakter siswa di kelas waktu itu. Dan tidak lama selang aku mencolokkan kabel laptop, si Andro langsung duduk dan membuka laptop tanpa izin. Spontan saja aku menegur dan memarahi Andro, “Andro, silakan duduk, tolong laptopnya disimpan dulu!”, perintahku. Namun Andro tidak mendengarkan teguranku dan Andro mulai menyalakan laptop­­-nya dan terus memainkan games di  laptop­-nya. Betapa bingung aku saat itu, memikirkan akibat yang akan terjadi jika seandainya aku meluapkan amarahku ke Andro. Tapi, dengan kesadaran yang masih tersimpan. Aku menghentikan teguranku, namun Andro masih saja memainkan games di laptop-nya hingga jam pelajaran berakhir. Dengan mimik wajahku yang bosan, sebelum keluar ruang kelas, aku berpesan kepada Andro dan teman-temannya yang lain bahwa mulai minggu berikutnya jika Andro tidak mau merubah perilakunya yang tidak baik, aku yang akan keluar dari ruangan kelas.

       Sedikit banyaknya  aku sudah paham dengan karakter para siswa umumnya yang pernah aku temui karena sebelum mengajar di kelas Andro aku sudah lumayan banyak memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai macam karakter para siswaku baik berhadapan dengan siswa yang pendiam seribu bahasa sampai siswa yang hampir pernah mengarahkan jari telunjuknya di keningku saat dia marah yang tidak jelas dengan nada mengancam sehingga membuat darahku memanas melihat tingkahnya yang sangat tidak patut dicontoh. Betapa kurang ajar siswa itu, hingga aku menegurnya dengan baik, mengucapkan istighfar dan mengusap emosi burukku. Namun, dalam kelasku kali ini sangatlah berbeda dengan apa yang saya duga sebelumnya. Menghadapi siswa yang tidak menganggap kehadiran guru barunya.
      Sempat aku berpikir, betapa senangnya hidup seorang siswaku Andro, anak dari keluarga yang kaya yang bisa memiliki segalanya yang dia inginkan, dimana jika dibandingkan dengan anak-anak di luar sana yang mungkin keadaan mereka sangatlah jauh dengan keadaan Andro. Andro bisa sekolah, membayar les yang mahal di luar sekolah, dan bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Sungguh luar biasa kesempurnaan materi yang dia dapat. Dan timbul pertanyaan di benakku bagaimana ketika dia besar nanti jika sikapnya terhadap orang lain masih seperti itu dan bagaimana dia bisa mempertahankan harta orang tuanya dengan baik kelak tanpa menghormati orang lain di sekitarnya.

KECERDASAN BELUM TENTU BISA MENYELAMATKAN HARTAMU, NAMUN AKHLAK AKAN SELALU MENJAGA HARTAMU.

Inilah sepenggal cerita yang terjadi di sela-sela pekerjaanku sebagai guru yang umumnya mungkin juga terjadi di kehidupan para pembaca sekalian. Hal ini mendorongku untuk mencari ide baru dalam memecahkan masalah untuk mengarahkan siswa yang serupa dalam kondisi cerita di atas ke arah yang lebih tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 14 Oktober 2014

GURU BERSABARLAH DULU


     Aku adalah seorang guru yang termasuk guru yang trend-nya disebut guru yang ‘gak tegaan, khususnya pada siswa-siswaku sendiri. Saat mengajar di kelas umumnya  aku terlihat biasa saja dan bukan termasuk guru yang killer. Apalagi di saat siswa yang terkadang membuatku jengkel di kelas, aku selalu berusaha menegur dengar caraku sendiri, yaitu menegur seperlunya dengan tidak menunjukkan tekanan suara tinggi yang menggertak dengan tujuan agar mereka tidak tersinggung, namun satu hal yang menjadi kelemahanku saat-saat itu adalah cara tuguranku tidak dapat membuat siswaku jera dan sadar. Aku tahu alasan mengapa siswa sering berperilaku seperti itu, tetapi alasan itu tidak perlu aku jelaskan panjang lebar di sini. Ya, aku menyadari bahwa aku saat itu sedang mengajar di sebuah lembaga pendidikan Non-formal yang menuntut guru untuk selalu berhati-hati dalam menegur siswa, jangan sampai mereka dipukul ataupun hal yang membuat mereka berhenti dari lembaga tersebut. Maklum, lembaga pendidikan Non-formal di tempatku mengajar mampu bertahan hidup karena adanya kepercayaan siswa, jika lembaga itu dianggap buruk di mata siswa dan atau orang tuanya, mungkin saja lembaga itu akan mengalami penurunan jumlah siswa dan akan mengalami kebangkrutan. waktu itu  Memang berat tantangan profesi ini yang aku rasakan sebagai guru di lembaga pendidikan Non-formal, tetapi sebagai guru yang berusaha untuk selalu profesional dengan segala kekurangan yang aku miliki, maka hal itu yang membuatku tetap semangat dalam mengajar, tulus ikhlas aku berikan demi siswa, lembaga, dan pekerjaanku.  Mungkin pernyataan ini terdengar agak membanggakan diri ataupun mungkin terdengar kurang etis dibicarakan, tetapi itulah secuil kenyataan dari sifatku yang sebenarnya sebagai seorang guru.
      Di lembaga pendidikan Non-formal tempat aku mengajar waktu itu hampir seluruh siswa-siswinya berasal dari golongan orang kaya. Ada siswa yang berperilaku baik terhadap guru dan ada juga “mungkin” siswa yang berperilaku yang tidak baik terhadap gurunya. Mungkin mereka menganggap gurunya lebih rendah materilnya sehingga mereka seenaknya saja berperilaku yang tidak beretika. Mereka menganggap segalanya bisa dibeli dengan uang dari orang tuanya. Mungkin juga faktor pergaulan di dunia mereka lebih bebas, kurang perhatian dari orang tua, dan atau kurang bergaul dengan orang di sekitarnya yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dari segi materi dan status sosialnya. Semua etika mereka itu pasti memiliki banyak faktor yang mempengaruhi. Akan tetapi, bukan berarti mereka luput dari perhatian seorang guru. Guru akan selalu memberikan contoh yang baik untuk anak didiknya.
       Kali ini aku ingin menceritakan pengalaman singkat yang memiliki sedikit pelajaran yang berpengaruh dalam hidupku dan untuk kesadaran diri untuk menjadi guru yang lebih baik lagi di masa mendatang.
        Pada hari Selasa di suatu lembaga yang tidak perlu aku sebutkan, aku mendapatkan jadwal mengajar di kelas 7 SMP. Tepatnya di ruang A. Pengalaman yang biasa aku hadapi saat itu ialah menunggu kehadiran siswa di kelas yang mana mereka semua datang terlambat. Sebenarnya tidaklah etis bagi seorang guru menunggu kedatangan siswanya di kelas, yang ada hanyalah siswa yang menunggu kehadiran guru di kelasnya atau datang dalam waktu yang bersamaan untuk belajar, bukan sebaliknya. Saat itu sebagian besar siswaku datang walaupun terlambat, sisanya menyusul dua siswa laki-laki datang di pertengahan jam belajar. Dua siswa yang terakhir itu sebut saja namanya Bendri dan Andro. Ketika terlambat memasuki ruangan, Andro langsung masuk ke uang kelas bersama Bendri tanpa mengucapkan salam, tidak menoleh ke hadapanku, dan yang parahnya lagi selang waktu masuk ruang kelas, sebelum duduk si Andro meminta bantuanku untuk mencolokan kabel laptop-nya, aku merasa sangat terkejut. Jauh dari prasangka  burukku, selayaknya siswa yang memimta bantuan, aku bantu saja Andro mencolokkan kabel ke lobang aliran listrik yang ada di kelas. Mungkin karena aku adalah guru yang pertama kali mengajar di kelasnya. Aku belum begitu mengenal karakter siswa di kelas waktu itu. Dan tidak lama selang aku mencolokkan kabel laptop, si Andro langsung duduk dan membuka laptop tanpa izin. Spontan saja aku menegur dan memarahi Andro, “Andro, silakan duduk, tolong laptopnya disimpan dulu!”, perintahku. Namun Andro tidak mendengarkan teguranku dan Andro mulai menyalakan laptop­­-nya dan terus memainkan games di  laptop­-nya. Betapa bingung aku saat itu, memikirkan akibat yang akan terjadi jika seandainya aku meluapkan amarahku ke Andro. Tapi, dengan kesadaran yang masih tersimpan. Aku menghentikan teguranku, namun Andro masih saja memainkan games di laptop-nya hingga jam pelajaran berakhir. Dengan mimik wajahku yang bosan, sebelum keluar ruang kelas, aku berpesan kepada Andro dan teman-temannya yang lain bahwa mulai minggu berikutnya jika Andro tidak mau merubah perilakunya yang tidak baik, aku yang akan keluar dari ruangan kelas.

       Sedikit banyaknya  aku sudah paham dengan karakter para siswa umumnya yang pernah aku temui karena sebelum mengajar di kelas Andro aku sudah lumayan banyak memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai macam karakter para siswaku baik berhadapan dengan siswa yang pendiam seribu bahasa sampai siswa yang hampir pernah mengarahkan jari telunjuknya di keningku saat dia marah yang tidak jelas dengan nada mengancam sehingga membuat darahku memanas melihat tingkahnya yang sangat tidak patut dicontoh. Betapa kurang ajar siswa itu, hingga aku menegurnya dengan baik, mengucapkan istighfar dan mengusap emosi burukku. Namun, dalam kelasku kali ini sangatlah berbeda dengan apa yang saya duga sebelumnya. Menghadapi siswa yang tidak menganggap kehadiran guru barunya.
      Sempat aku berpikir, betapa senangnya hidup seorang siswaku Andro, anak dari keluarga yang kaya yang bisa memiliki segalanya yang dia inginkan, dimana jika dibandingkan dengan anak-anak di luar sana yang mungkin keadaan mereka sangatlah jauh dengan keadaan Andro. Andro bisa sekolah, membayar les yang mahal di luar sekolah, dan bisa mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Sungguh luar biasa kesempurnaan materi yang dia dapat. Dan timbul pertanyaan di benakku bagaimana ketika dia besar nanti jika sikapnya terhadap orang lain masih seperti itu dan bagaimana dia bisa mempertahankan harta orang tuanya dengan baik kelak tanpa menghormati orang lain di sekitarnya.

KECERDASAN BELUM TENTU BISA MENYELAMATKAN HARTAMU, NAMUN AKHLAK AKAN SELALU MENJAGA HARTAMU.

Inilah sepenggal cerita yang terjadi di sela-sela pekerjaanku sebagai guru yang umumnya mungkin juga terjadi di kehidupan para pembaca sekalian. Hal ini mendorongku untuk mencari ide baru dalam memecahkan masalah untuk mengarahkan siswa yang serupa dalam kondisi cerita di atas ke arah yang lebih tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar